Hi Moms! Buat moms yang memiliki anak usia sekolah, pasti udah tau dong, kalau sejak pandemi Corona ini, pemerintah menetapkan peraturan baru untuk jadwal masuk sekolah, yaitu jadwal masuk sekolah tetap dilaksanakan per bulan Juli 2020 ini. Dan untuk pembelajaran tatap muka di sekolah dilakukan secara bertahap untuk setiap jenjang pendidikan. Yaitu SMA dan SMP sederajat menjadi jenjang pendidikan pertama yang memulai kegiatan belajar mengajar secara tatap muka di sekolah. Kemudian disusul dengan jenjang SD dan PAUD. Namun yang berada di zona kuning, oranye dan merah dilarang belajar tatap muka langsung di sekolah, alias tetap harus belajar di rumah.
Untuk info detailnya moms bisa lihat video Kemendikbud dibawah ini.
Untuk info detailnya moms bisa lihat video Kemendikbud dibawah ini.
Karena kebetulan area rumah saya termasuk zona merah dan oranye, jadi untuk tahun ajaran baru 2020/2021, masih harus belajar dari rumah (belajar online).
Narend Masuk SD
Tahun ini Narend lulus TK dan ia bersiap untuk masuk ke jenjang SD. Sungguh masalah baru ya, masuk tahun ajaran baru berpapasan banget dengan adanya Covid seperti ini, jadi terkendala ya. Masalahnya bukan hanya sekedar gak bisa tatap muka (belajar di rumah) aja, tapi so far dari yang saya baca permasalahan di kalangan moms lainnya, menyoal PPDB, bukan hanya berdasarkan zonasi saja, tapi juga berdasarkan usia. Jadi yang diprioritaskan adalah yang usianya paling tua.
Narend per tahun 2020 ini memasuki usia 6,5 tahun, dan ini adalah waktu yang pas untuk masuk usia SD.
Ada beberapa orangtua yang memilih menunda memasukkan anaknya ke sekolah di masa pandemi ini.
Ada juga orangtua yang memilih menyekolahkan anaknya ke homeschooling dan belajar di rumah bersama orangtuanya. (Yah itu saya) tapi gak jadi 😁 nanti saya ceritakan di bawah ya.
Ada juga orangtua yang tetap melanjutkan ke sekolah pilihan, seperti swasta contohnya (Ya, itu saya juga). Lho pilihannya 2, gimana maksudnya?
Sabar, nanti saya cerita di bawah 😊
Saya sempat berpikir, saat pandemi seperti sekarang, belajar juga cuma online di rumah, kalau saya masukkan di sekolah swasta, jadi rugi dong? Kenapa rugi? Karen pertama saya harus bayar gedung, tapi gak Narend nikmati juga saat ini. Kedua, uang SPP (bulanan) juga tetap jalan tiap bulan. Saya minta keringanan atau diskon juga maksimal cuma 10%? Akhirnya saya berpikir, kayaknya saya berencana Narend di Homeschooling aja deh! Pikir saya dalam hati. Langsung saya berdiskusi panjang dengan suami saat itu. Akhirnya kami ada kata sepakat untuk masukkan Narend ke Homeschooling.
Awalnya kami sempet galau tuh, mau homeschooling apa gak. Saya sempat bikin status juga di Facebook waktu itu. Nah, tanggapan teman-teman facebook saat itu beragam tuh. Ada yang menyarankan coba aja homeschooling dulu. Atau ada juga yang bilang tetap sekolah formal.
Alasan saya mau masukkan ke homeschooling yang pasti karena biayanya gak mahal, seperti webinar yang saya ikut waktu lalu bersama mba Lala dan Mas Aar, mereka bilang bahwa homeschooling itu belajar di rumah bersama orangtuanya, bukan di sekolah. Jadi yang buat kurikulum ya orangtuanya, yang ngajar orangtuanya juga. Dsb.
Oke, searching punya searching, ternyata Homeschooling itu gak semuanya itu free, atau murah. Ada juga yang memang sekolah swasta berlabelkan homeschooling seperti contohnya HS Kak Seto. Sudah saya survey, biayanya sama seperti biaya masuk sekolah swasta.
Duh biyuung, ini kok mau hemat dengan sekolah di homeschooling kenapa malah jadi makin mahal ya? 😰 Pikir saya dalam hati.
Sedih deh denger jawaban dari pihak sekolah seperti itu. Untungnya kami belum memutuskan untuk homeschooling. Seandainya iya, habis waktu dan biaya kami deh 😰
Akhirnya kami putar otak, gimana caranya supaya Narend tetap sekolah tapi kami gak rugi-rugi amat? Jawabannya satu, ahaa, sekolah negri aja deh!
Akhirnya saya dan suami sepakat untuk menyekolahkan Narend ke sekolah negeri. Saya sih sebenarnya benar-benar gak sreg memasukkan anak ke sekolah negeri, khususnya untuk TK dan SD. Karena kedua jenjang itu adalah basic (fundamental) pembentukan jati diri anak. Yang sering saya temukan di lapangan, pergaulan sekolah negri tidak sama seperti di swasta. Saya tidak bilang sekolah negri itu tidak bagus, hanya saja lebih ketat pengawasan di swasta. Karena saya lihat sendiri bagaimana pengawasan dan pergaulan sekolah di swasta bagaimana. Karena Rissa sekolah di swasta yang cukup bagus.
Saya berpikir, gapapalah sekolah di negri hanya setahun saja, toh metode KBM nya juga hanya online. Jadi gak ngaruh juga kalau di swasta. Dia gak tatap muka juga sama teman-teman sebayanya.
Tadinya saya sempat berpikir, yasudah, kalau memang gak sekolah di swasta, darupada rugi, mending Narend gak usah sekolah dulu deh, baru masuk tahun depan. Pikir saya dalam hati.
Lalu saya berpikir lagi, ya kalau pandemi ini sudah selesai tahun depan. Kalau misalnya belum selesai juga, gimana? Karena kan pandemi ini tidak ada satu ahlipun yang bisa memprediksi kapan bisa selesai. Kalaupun grafik pertambahan korban sudah melandai, belum tentu kasus ini selesai begitu saja dalam hitungan bulan. Pasti ada ada gelombang kedua atau lanjutan kasusnya. Bisa saja timbul masalah baru lainnya.
Saya berpikir demikian.
Jadi, yah satu-satunya cara Narend gak rugi umur ya tetap saya sekolahkan dia ke SDN. SDN yang kami pilihkan juga bukan SDN yang ecek-ecek, tapi juga yang bagus dan sekolah favorit.
Insyallah kalau pandemi sudah selesai tahun depan, baru kami pindahkan Narend ke sekolah swasta yang lokasinya tidak jauh dari rumah kami.
Tapi itu dulu cerita waktu semester 1. Lalu semester 2 bagaimana?
Oke kemudian saya galau lagi. Rissa tetap sekolah atau gak ya? Gurunya beberapa hari sebelum masuk sekolah menelpon saya, bagaimana kabar kelanjutan soal sekolah Rissa? Jujur saya bingung, karena keputusan dari sekolah, tidak ada tatap muka, hanya virtual saja melalui Google Hangout (seperti di semester 1). Kemudian juga ada kegiatan KBM Drive Thru, jadi dikumpulkan beberapa orangtua dalam 1 lokasi, kemudian orangtuanya beserta anaknya di mobil saja, lalu pengajarnya di luar. Duh kalau metode KBM drive thru seperti ini kok saya gak sreg ya? Seperti main-main? Kalau cuma begitu saja mah, saya bisa, Pikir saya dalam hati.
Gak hanya itu, nantinya akan diberikan berupa prakarya yang nantinya untuk melatih motorik anak-anak (kasar dan halus). Kemudian per 1 minggu saya harus ke sekolah untuk setor pekerjaan rumahnya.
Kemudian juga ada home visit, yaitu guru datang ke rumah (seperti kayak private ya). Jadi nanti gurunya datang ke rumah, jadwalnya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Ribet gak sih kalau kayak gitu? Uang sekolah tetap jalan, tapi kita hanya menikmati melalui virtual aja. Tujuan saya menyekolahkan Rissa kan untuk melatih motoriknya, kalau KBM nya melalui virtual ya, apa bedanya kalau saya yang mengajarkan? Uangnya bisa saya saving untuk tahun depan, saat sekolah sudah resmi dibuka.
Akhirnya saya dan suami sepakat, kalau saya gak setuju dengan metode KBM yang ditawarkan sekolah, terpaksa sekolah Rissa kita vakumkan saja. Gak tau Rissa terhitung masih sekolah disana atau gak.
Tapi saya masih terima email-email dari sekolah sih 😉
Itulah sekelumit problem emak-emak yang bingung persoalan sekolah anak di masa pandemi seperti sekarang. Maju salah, mundur salah. Mau divakumkan sekolahnya, taoi takut rugi umur? Lagipula, mau diliburkan, kegiatan anak-anak apa? Apa mau ikut homeschooling? Nerarti saya harus menyiapkan kurikulum lagi. Apakah ada waktunya saya bisa mengajarkan anak? Dsb. Dab.
Jadi kalau memang disuruh tunda lagi masuk tahun depan, sepertinya gak deh. Keputusan yang saya dan suami ambil sekarang ini, semiga menjadi keputusan yang terbaik untuk kami semua.
Semoga pandemi ini cepat berlalu dan anak-anak bisa kembalj bersekolah dengan normal ya moms.
Semoga bermanfaat.
Narend per tahun 2020 ini memasuki usia 6,5 tahun, dan ini adalah waktu yang pas untuk masuk usia SD.
Ada beberapa orangtua yang memilih menunda memasukkan anaknya ke sekolah di masa pandemi ini.
Ada juga orangtua yang memilih menyekolahkan anaknya ke homeschooling dan belajar di rumah bersama orangtuanya. (Yah itu saya) tapi gak jadi 😁 nanti saya ceritakan di bawah ya.
Ada juga orangtua yang tetap melanjutkan ke sekolah pilihan, seperti swasta contohnya (Ya, itu saya juga). Lho pilihannya 2, gimana maksudnya?
Sabar, nanti saya cerita di bawah 😊
Berencana Belajar di Homeschooling
Saya sempat berpikir, saat pandemi seperti sekarang, belajar juga cuma online di rumah, kalau saya masukkan di sekolah swasta, jadi rugi dong? Kenapa rugi? Karen pertama saya harus bayar gedung, tapi gak Narend nikmati juga saat ini. Kedua, uang SPP (bulanan) juga tetap jalan tiap bulan. Saya minta keringanan atau diskon juga maksimal cuma 10%? Akhirnya saya berpikir, kayaknya saya berencana Narend di Homeschooling aja deh! Pikir saya dalam hati. Langsung saya berdiskusi panjang dengan suami saat itu. Akhirnya kami ada kata sepakat untuk masukkan Narend ke Homeschooling.
Awalnya kami sempet galau tuh, mau homeschooling apa gak. Saya sempat bikin status juga di Facebook waktu itu. Nah, tanggapan teman-teman facebook saat itu beragam tuh. Ada yang menyarankan coba aja homeschooling dulu. Atau ada juga yang bilang tetap sekolah formal.
Alasan saya mau masukkan ke homeschooling yang pasti karena biayanya gak mahal, seperti webinar yang saya ikut waktu lalu bersama mba Lala dan Mas Aar, mereka bilang bahwa homeschooling itu belajar di rumah bersama orangtuanya, bukan di sekolah. Jadi yang buat kurikulum ya orangtuanya, yang ngajar orangtuanya juga. Dsb.
Oke, searching punya searching, ternyata Homeschooling itu gak semuanya itu free, atau murah. Ada juga yang memang sekolah swasta berlabelkan homeschooling seperti contohnya HS Kak Seto. Sudah saya survey, biayanya sama seperti biaya masuk sekolah swasta.
Duh biyuung, ini kok mau hemat dengan sekolah di homeschooling kenapa malah jadi makin mahal ya? 😰 Pikir saya dalam hati.
Homeschooling Tidak Bisa Lanjut Ke Swasta
Kami berparalel, sambil mencari info soal pilihan homechooling, akhirnya kami menemui pihak sekolah (swasta) Narend, dan bertanya, seandainya 1 tahun pertama kami menyekolahkan anak di homeschooling, apakah bisa melanjutkan ke sekolah swasta ini? Kami pikir jawabannya, bisa, karena berbasis info yang saya baca-baca, homeschooling itu legal, sama saja seperti anak sekolah formal aja. Tapi nyatanya, sekolah swasta yang mwnjadi tujuan sekolah Narend, tidak menerima anak lulusan homeschooling. Walaupun sudah ikut ujian kesetaraan, dsb, tetap saja anak yang homeschooling dianggap tidak sekolah.Sedih deh denger jawaban dari pihak sekolah seperti itu. Untungnya kami belum memutuskan untuk homeschooling. Seandainya iya, habis waktu dan biaya kami deh 😰
Akhirnya kami putar otak, gimana caranya supaya Narend tetap sekolah tapi kami gak rugi-rugi amat? Jawabannya satu, ahaa, sekolah negri aja deh!
Akhirnya saya dan suami sepakat untuk menyekolahkan Narend ke sekolah negeri. Saya sih sebenarnya benar-benar gak sreg memasukkan anak ke sekolah negeri, khususnya untuk TK dan SD. Karena kedua jenjang itu adalah basic (fundamental) pembentukan jati diri anak. Yang sering saya temukan di lapangan, pergaulan sekolah negri tidak sama seperti di swasta. Saya tidak bilang sekolah negri itu tidak bagus, hanya saja lebih ketat pengawasan di swasta. Karena saya lihat sendiri bagaimana pengawasan dan pergaulan sekolah di swasta bagaimana. Karena Rissa sekolah di swasta yang cukup bagus.
Saya berpikir, gapapalah sekolah di negri hanya setahun saja, toh metode KBM nya juga hanya online. Jadi gak ngaruh juga kalau di swasta. Dia gak tatap muka juga sama teman-teman sebayanya.
Tadinya saya sempat berpikir, yasudah, kalau memang gak sekolah di swasta, darupada rugi, mending Narend gak usah sekolah dulu deh, baru masuk tahun depan. Pikir saya dalam hati.
Lalu saya berpikir lagi, ya kalau pandemi ini sudah selesai tahun depan. Kalau misalnya belum selesai juga, gimana? Karena kan pandemi ini tidak ada satu ahlipun yang bisa memprediksi kapan bisa selesai. Kalaupun grafik pertambahan korban sudah melandai, belum tentu kasus ini selesai begitu saja dalam hitungan bulan. Pasti ada ada gelombang kedua atau lanjutan kasusnya. Bisa saja timbul masalah baru lainnya.
Saya berpikir demikian.
Jadi, yah satu-satunya cara Narend gak rugi umur ya tetap saya sekolahkan dia ke SDN. SDN yang kami pilihkan juga bukan SDN yang ecek-ecek, tapi juga yang bagus dan sekolah favorit.
Insyallah kalau pandemi sudah selesai tahun depan, baru kami pindahkan Narend ke sekolah swasta yang lokasinya tidak jauh dari rumah kami.
Bagaimana Dengan Rissa?
Hmm oke, sekarang sekolah Rissa. Rissa itu sudah saya sekolahkan sejak ia usia 9 bulan kemarin. Gak jauh dari rumah sih, sekitar 3 km saja. Tapi baru 2 bulan sekolah, eh ada pandemi Corona, terpaksa pertemuan tatap muka jadi dinonaktifkan jadi pertemuan virtual aja melalui Google Hangout and Meet saja.Tapi itu dulu cerita waktu semester 1. Lalu semester 2 bagaimana?
Oke kemudian saya galau lagi. Rissa tetap sekolah atau gak ya? Gurunya beberapa hari sebelum masuk sekolah menelpon saya, bagaimana kabar kelanjutan soal sekolah Rissa? Jujur saya bingung, karena keputusan dari sekolah, tidak ada tatap muka, hanya virtual saja melalui Google Hangout (seperti di semester 1). Kemudian juga ada kegiatan KBM Drive Thru, jadi dikumpulkan beberapa orangtua dalam 1 lokasi, kemudian orangtuanya beserta anaknya di mobil saja, lalu pengajarnya di luar. Duh kalau metode KBM drive thru seperti ini kok saya gak sreg ya? Seperti main-main? Kalau cuma begitu saja mah, saya bisa, Pikir saya dalam hati.
Gak hanya itu, nantinya akan diberikan berupa prakarya yang nantinya untuk melatih motorik anak-anak (kasar dan halus). Kemudian per 1 minggu saya harus ke sekolah untuk setor pekerjaan rumahnya.
Kemudian juga ada home visit, yaitu guru datang ke rumah (seperti kayak private ya). Jadi nanti gurunya datang ke rumah, jadwalnya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Ribet gak sih kalau kayak gitu? Uang sekolah tetap jalan, tapi kita hanya menikmati melalui virtual aja. Tujuan saya menyekolahkan Rissa kan untuk melatih motoriknya, kalau KBM nya melalui virtual ya, apa bedanya kalau saya yang mengajarkan? Uangnya bisa saya saving untuk tahun depan, saat sekolah sudah resmi dibuka.
Akhirnya saya dan suami sepakat, kalau saya gak setuju dengan metode KBM yang ditawarkan sekolah, terpaksa sekolah Rissa kita vakumkan saja. Gak tau Rissa terhitung masih sekolah disana atau gak.
Tapi saya masih terima email-email dari sekolah sih 😉
Itulah sekelumit problem emak-emak yang bingung persoalan sekolah anak di masa pandemi seperti sekarang. Maju salah, mundur salah. Mau divakumkan sekolahnya, taoi takut rugi umur? Lagipula, mau diliburkan, kegiatan anak-anak apa? Apa mau ikut homeschooling? Nerarti saya harus menyiapkan kurikulum lagi. Apakah ada waktunya saya bisa mengajarkan anak? Dsb. Dab.
Jadi kalau memang disuruh tunda lagi masuk tahun depan, sepertinya gak deh. Keputusan yang saya dan suami ambil sekarang ini, semiga menjadi keputusan yang terbaik untuk kami semua.
Semoga pandemi ini cepat berlalu dan anak-anak bisa kembalj bersekolah dengan normal ya moms.
Semoga bermanfaat.
sebetulnya sih semau keputusan tergantung masing2, beruntung bagi orang yang memang memiliki fasilitalas belajar di rumah dan memiliki dana cukup
ReplyDelete